Rabu, 24 Maret 2010

SEBUAH PERENUNGAN DIRI

Suatu hari Kita berdiri menghadap ke laut lepas. Lalu kita melemparkan sebuah batu kerikil ke tengah lautan. Dari jauh kita amati apa yang terjadi dengan lemparan tadi. Pertama, terlihat cipratan air dan riak kecil yang berlangsung kurang dari satu menit, kemudian menghilang. Kita tidak tahu lagi kemana batu kerikil tadi. Dan orang pun juga tidak peduli tentang nasib batu kerikil yang kita lempar tadi.

Peristiwa kecil tadi membuat kita tercenung. Bukankah diri kita yang terlempar ke dunia ini tak ubahnya seperti batu kerikil tadi? Kita terlempar ke ruang semesta yang luasnya tak terjangkau nalar. Diperkirakan, tidak kuang dari 250 miliar gugusan bima sakti yang ada di planet ini. Bahkan bisa jadi lebih dari itu. Nalar manusia tidak sanggup mengukur bentangan ruang dan waktu tempat kita semua terlahir, tumbuh dan kemudian menghilang ditelan kematian. Jangankan diri kita, sedangkan planet bumi saja bagaikan sebuah kerikil kecil ditengah taburan planet yang tak terhitung jumlahnya. Kita terlahir, lalu menciptakan riak-riak kecil yang akhirnya lenyap ditelan bumi.Kita tidak sanggup menghitung, berapa banyak sudah manusia terlahir dan kemudian menghilang. Dan berapa banyak lagi di masa depan manusia akan singgah sebentar di planet bumi ini, yang kemudian menghilang entah kemana atau mau jadi apa setelahnya.

Kita coba kembali duduk memandang laut lepas sambil merenung. Kalau manusia hanya dilihat dari sisi fisiknya, sungguh kecil dan rapuh, bagaikan belalang hinggap di selembar daun di tengah hutan belantara. Kalau saja hidup hanya diukur dengan sukses pengumpulan kekayaan materi (bukan membelanjakannya untuk kemanusiaan), dengan penampilan fisik yang sehat dan menarik, dengan kekayaan duniawi lain, maka kita perlu merenung, berapa lama semua itu bisa dibanggakan? Untuk apa sesungguhnya manusia sibuk menguber-uber harta jauh melebihi kebutuhannya dengan cara tidak halal jika pada akhirnya malah membuat repot dan jadi beban hidup?

Kita tentunya ingat cerita Raja Midas dalam legenda Yunani Kuno yang hidupnya berakhir dengan tragis. Dia ingin sekali menjadi raja yang terkaya di dunia, sehingga tak seorang pun boleh menandingi kekayaannya. Maka dia pertapa, minta pada sang Dewa agar dianugerahi tangan sakti. Dengan tangan saktinya itu dia membayangkan agar apapun yang disentuhnya berubah menjadi emas. Pendek cerita, sang Dewa akhirnya mengabulkan permintaannya. Maka Raja Midas kembali ke rumah istananya untuk mewujudkan impiannya memiliki istana emas dan menjadi raja terkaya di muka bumi.

Demikianlah, begitu menginjak halaman istana, pagar istana disentuhnya sehingga seketika telah berubah menjadi emas. Dia tertawa kegirangan. Lalu melangkah masuk, tiang-tiang istana pun disentuhnya dan seketika berubah jadi emas. Saking gembiranya dan untuk melampiaskan nafsunya, maka diam-diam meja-kursi istana juga disentuh sehingga semuanya berubah menjadi istana emas. Dia ingin membuat kejutan dan hadiah termahal pada isteri tercinta yang juga sangat cinta pada kekuasaan dan kekayaan. Aku adalah raja terkaya dimuka bumi, pikirnya dengan bangga. Tak ada seorangpun yang mampu menyaingi kekayaan saya dan isteri secantik isteri saya. Tak seorang pun yang memiliki tangan sakti seperti saya.

Setelah merasa puas berhasil menyulap menjadi istana emas, Raja Midas memanggil isterinya untuk memperlihatkan keajaiban yang telah diciptakannya. Dan saking gembira serta kangennya karena sudah lama tidak bertemu, maka dipeluklah isterinya. Apa yang terjadi? Berubahlah isterinya jadi patung emas. Raja Midas kaget, terguncang hatinya, mengangis meraung-raung dan kebingungan. Apapun yang disentuh menjadi emas, sejak dari makanan dan minuman semuanya berubah jadi emas.Dia kesepian, bingung, sedih, merana dan penuh penyesalan. Dia baru tersadar bahwa sumber kehidupan adalah ruh dan jiwa yang sehat, bukan emas berlian. Adalah ruh yang suci yang selalu memancarkan kasih Tuhan untuk sesamanya yang membuat hidup ini indah, hidup ini sebuah rekreasi produktif-konstruktif yang kelak akan dilaporkan pada Tuhan ( Allah SWT).

Mereka yang silau pada gemerlapnya kenikmatan duniawi dan kekayaan materi, bagaikan kelelawar yang terbang siang. Mereka buta bukannya karena tak ada cahaya, melainkan terlalu silau menatap cahaya di siang hari. Bersyukurlah mereka yang memperoleh hidayah Allah, yang menyadari bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang menempati rumah fisikal. Dalam diri manusia terdapat singgasana Ilahi yang keluasannya melebihi batas ruang dan waktu duniawi. Kehidupan ruhani manusia bukan sekadar kerikil yang ditelan lautan. Sebaliknya, jagad semesta ini bisa bisa dipeluk dan ditembus oleh kehidupan ruhani karena ruh manusia datang dari Dia Yang Melingkupi (Al Muhiith). Dengan matahati yang dibimbing cahaya Ilahi dan rasa syukur serta kagum akan kebesaran Allah SWT, seorang mukmin akan mampu menatap siapa pencipta taburan planet di alam semesta ini. Seorang mukmin selalu berthawaf dan menari bersama thawaf dan tarian jagad semesta. Selalu sujud dan bertasbih bersama semua makhluk ciptaanNya di sekililing kita. Di manapun berada dan kemanapun melangkah, di situ ada masjid dan hamparan sajadah. Sebuah sajadah panjang yang terhampar sampai ke liang lahat, pintu gerbang menuju perumahan yang jauh lebih menawan bagi mereka yang beriman dan kaya dengan investasi amal kebaikan. Lalu bagaimana dengan yang kita lakukan sehari-hari ini…? Kenapa kita ini di klaim pandai dalam Ilmu agama (Islam) tetapi selalu melakukan kecurangan pada diri kita dan lingkungan kita, apakah itu suatu kebanggaan ? Semoga kita segera melakukan perenungan kembali. Wallahu’alam
alvalima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar